By. Naila Kamaliya
Memasuki detik-detik semester akhir perkuliahan ini rasa gembira, sedih, menyesal, dan terharu bercampur menjadi satu. Gembira karena akan tiba waktunya dimana saya tak lagi dikejar banyak deadline tugas dan memasuki ruang kelas yang menurut saya membuat raga dan jiwa menjadi tak bergairah. Gembira karena waktu saya tak banyak dihabiskan untuk duduk dan mendengarkan dosen saja namun disisi lain ada perasaan sedih, menyesal, dan terharu. Sedih karena akan meninggalkan teman-teman, sahabat-sahabat yang saya miliki, teman dan sahabat yang gila, teman dan sahabat yang hanya dengannya lah saya bisa melepaskan semua perasaan gundah maupun senang. Perasaan menyesal juga saya rasakan, perasaan ini paling mendominasi perasaan saya dimana banyak waktu yang selama ini telah terbuang sia-sia untuk hal yang tak ada gunanya, menyesal karena ada berjuta buku yang belum tersentuh satu patah katanya, menyesal karena ada banyak peluang yang sengaja tidak dijamah hanya karena lebih mementingkan hal-hal hedonis, menyesal karena masih banyak keinginan orangtua yang belum bisa saya lakukan sampai detik ini, detik-detik terakhir dari sisa-sisa menjadi seorang mahasiswa. Tak hanya itu, rasa terharu juga mendayu-dayu didalam hati ini, terharu karena ternyata orangtua saya sudah memiliki anak perempuan yang sudah dewasa, terharu karena tak lama lagi satu dari sekian banyak hal yang membuat orangtua saya bahagia akan segera terlaksana.
Pekerjaan, pendamping hidup, dan berbagai orientasi masa depan tentu tak luput dari pikiran saya saat ini. Pekerjaan apa yang akan saya dapat esok, dapatkah saya beradaptasi diluar lingkungan kampus, atau bahkan mungkin ada alur hidup yang sudah ditentukan Allah yang tidak saya duga sebelumnya. Namun terlepas dari itu semua saya banyak bertanya dan menggumam pada diri saya sendiri, banyak hal-hal mengganjal yang sampai saat ini tak tau harus dilontarkan kemana. Hal ini adalah mengenai profesi psikologi atau ilmuan psikologi yang keberadaannya masih belum bisa diterima dan dihargai semua pihak, baik dari masyarakat, pemerintah, sampai ilmuan non psikologi. Kekhawatiran ini juga dibuktikan ketika saya dan teman-teman yang mengampu mata kuliah penanganan anak bermasalah mengunjungi petirahan anak bermasalah yang dikelola oleh dinas soisal kota Batu.
Waktu itu hari Senin (23/03) sekitar pukul 13.30 saya dengan teman saya berangkat bersama ke tempat tujuan yakni Petirahan Bima Sakti Kota batu. Sesampainya disana saya dan rombongan yang lainnya memasuki aula untuk mengikuti sarasehan yang disampaikan oleh pekerja sosial dan psikolog dari Petirahan Bima Sakti. Pertama – tama sarasehan ini dimulai oleh pekerja sosial yang menjelaskan histori dari petirahan bima sakti, selanjutnya pekerja sosial menjelaskan tugas pokok dan fungsinya di petirahan ini diantaranya adalah membina anak-anak bermasalah selama 25 hari, waktu ini merupakan waktu yang telah dirundingkan dan ditentukan bersama berdasarkan anggaran dana pemerintah. Anak-anak yang dianggap bermasalah disini adalah anak-anak yang agresif, malas, pemalu atau pendiam, dan prestasi belajarnya tidak mencapai standar rata-rata atau bisa dikatakan kesulitan dibidang akademik. Pekerja sosial juga bertugas untuk memberikan perlakuan pada anak-anak bermasalah demi perubahan perilaku yang positif. Anak-anak ini datang atas rekomendasi dari sekolah dan dinas sosial setempat yang tentunya atas persetujuan dari masing-masing orangtua. Sarasehan yang kedua datangnya dari seorang psikolog, ini merupakan sesi yang paling saya tunggu karena menurut paham saya seorang psikolog memiliki posisi yang paling penting dalam asasmen, intervensi, dan terapi pada anak bermasalah namun, pernyataan saya ini ternyata tak sama dengan fakta yang ada. Petirahan ini hanya memfungsikan psikolog sebagai pengasasmen anak-anak bermasalah, psikolog tida turun tangan mengintervensi dan memberi perlakuan pada anak-anak, yang bertugas mengintervensi dan memberi perlakuan adalah pekerja sosial. Saya sangat tercengang dengan fakta kehidupan ini pasalnya dipetirahan batu ini menangani 100 anak-anak bermasalah namun, hanya ada dua tenaga psikolog yang dipekerjakan, selebihnya adalah pekerja sosial. Sungguh menyayat hati, bagaimana tidak? Jurusan yang selama ini saya banggakan kebergunaannya ternyata fakta tidak berbicara demikian, namun setidaknya saya mengetahui bahwa pemerintah khususnya di dinas sosial kota Batu masih belum memahami ‘lahan’ psikologi yang sesungguhnya. Bayangkan jika pekerja sosial yang tidak memiliki basis keilmuan psikologi memberikan treatmen yang salah, dari kejadian ini kekhawatiran saya ternyata benar-benar terbukti, profesi psikologi dan ilmuan psikologi masih belum diakui dan dihargai oleh masyarakat bahkan sekelas pemerintahan sekalipun.
Setelah sarasehan kedua dan sesi tanya jawab selesai saya dan teman-teman yang lainnya pergi mengunjungi anak-anak dipetirahan ini, kami melihat mereka sedang sholat berjamaah, kami melihat baju mereka berjajar dijmuran, rasanya tak tega melihat anak sekecil itu harus hidup berpiah dari orangtuanya dan melakukan semuanya sendirian hanya karena mereka ‘dianggap’ bermasalah. Setelah puas melihat ruang belajar mereka saya kembali ke aula tempat dimana sarasehan berlangsung tadi, disana ternyata banyak anak-anak perempuan yang berlatih menari, mereka dengan kompak menari India dan wajah mereka tampak begitu ceria. Saya duduk disebelah kanan dekat dengan pintu, tiba-tiba ada seorang anak perempuan yang hendak melewati saya, dia membungkukkan badan dan berkata ‘amit mbak’ , sungguh tersentuh hati saya, anak-anak disini tampaknya biasa saja, mereka tampak tidak ‘bermasalah’. Setelah lama menonton tarian mereka saya dan teman saya memutuskan untuk pulang namun, dalam perjalanan pulang kita sempatkan jalan-jalan dahulu ke alun-alun Kota Batu, disana saya dan teman saya berfoto dan naik biang lala. Setelah bosan berjalan-jalan di alun-alun kita berbelok ke pos ketan legenda, karena belum buka kami menunggu didepan outlet sembari bercengkrama. Banyak pemandangan yang saya lihat mulai dari sanda gurau wisatawan kota Batu sampai pada pengemis-pengemis yang berkeliaran. Pengemis selalu lalu lalang dihadapan kami namun, banyak dari mereka yang masih anak-anak. Sungguh tidak tega melihat wajah polosnya harus mengemis dan mengamen disela waktunya yang seharusnya mereka bisa bermain dan belajar bersama teman sebaya. Saat melihat mereka saya terngiang akan kunjungan saya tadi, anak-anak di petirahan Kota Batu merupakan anak-anak yang memiliki background yang jelas, anak-anak yang sekolah, dan anak-anak yang memiliki orangtua, mereka adalah anak-anak beruntung yang dianggap ‘bermasalah’. Lalu saya berpikir, mengapa dinas sosial tidak memfokuskan untuk menangani anak-anak jalanan seperti ini, yang berkeliaran dari pagi hingga malam hanya untuk mengemis uang. Mereka tidak bersekolah dan kehilangan waktu bermain dengan teman sebayanya.
Saya rasa dinas sosial harus melakukan analisa sosial kembali khususnya pada petirahan Bima Sakti agar sasarannya jelas dan bermanfaat, saya rasa anak-anak disana masih memilki orangtua dan guru yang bisa dijadikan pembimbing jika mereka memang dianggap ‘bermasalah’. Namun bagaimana nasib dari anak-anak jalanan ini? Mereka tak bersekolah, bahkan bisa jadi mereka berada didalam jaringan orang-orang berbahaya yang memanfaatkan keluguan mereka untuk mengemis.
Dunia diluar kampus sungguh tak terduga, banyak fakta yang tak sesuai dengan pembelajaran kita didalam kampus, banyak masalah profesi dan sosial yang tak tersentuh oleh pemerintah kita, semoga kedepannya kita sebagai mahasiswa dan khususnya pegawai pemerintahan lebih responsif dan memiliki pengetahuan luas pada bidang pekerjaannya.