Kartini Hari ini

image

Perempuan yang tidak termakan hegemoni kapitalisme, Perempuan yang tidak tergerus arus ‘kecantikan’ ala media. Itulah sosoknya, Sinta Nuriyah Istri Almarhum Gus Dur.

Beliau merupakan kartini yang tidak membeda-bedakan perempuan. Sosok yang menjunjung keunikan yang dimiliki oleh setiap perempuan bahkan dizaman kapitalisme ini, banyak perempuan yang terhegemoni dengan kecantikan ala media seperti ‘cantik itu putih, tinggi, langsing, dll’ sehingga banyak perempuan masa kini yang berlomba-lomba untuk meraih ‘kecantikan’ itu sampai mereka melupakan esensi perempuan itu sendiri.
Berbeda dengan Ibu Sinta Nuriyah, Beliau tidak memandang kecantikan perempuan berdasarkan paras wajah dan penampilannya saja seperti Ajang pemilihan putra-putri kekinian yang hanya membolehkan Perempuan berparas ayu dan tinggi saja untuk bisa mengikutinya. Beliau selalu mengapresiasi setiap perempuan yang mampu berguna bagi sesamanya utamanya bagi kemajuan perempuan Indonesia walaupun dia tidak ‘cantik’ dimata orang lain.
Oleh karena itu marilah kita renungkan bersama2 bahwa masih banyak kartini-kartini yang berpotensi untuk berkontribusi pada Negeri ini yang tidak dijadikan ‘tumbal’ kapitalisme artinya sosok ‘perempuan kartini’ bukanlah sosok perempuan yang hanya menjadi putri kecantikan saja karena perempuan pada esensinya ialah Ia yang mampu berjuang demi keluarga, masyarakat, agama dan negaranya dengan keunikan yang Ia punya, kecerdasan salah satunya, karena wanita cerdas tidak selalu cantik. Jangan bersedih wahai wanita yang tak dianggap ‘cantik’, kalian cantik dengan keunikan kalian masing2.

Islamku Kebebasanku

Islam adalah sebuah karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia akhir zaman untuk mengontrol dan membebaskan segala bentuk perbudakan, penindasan, diskriminasi dan segala sesuatu yang merusak. Islam merupakan agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW agar para umatnya tunduk, patuh mengamalkan ajaran kebaikan dan meninggalkan perihal keburukan. Islam turun di arab yang secara geografi adalah sebuah negeri yang panas, tak hanya itu saja secara geo-politik, geo-sosial dan geo-ekonomi disana mayoritas banyak terjadi berbagai bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh suku-suku yang berkuasa. Salah satu dari suku tersebut adalah suku dimana nabi Muhammad dilahirkan. Nabi Muhammad diutus dan dilahirkan disana untuk membebaskan umat manusia dari segala bentuk penindasan, nabi Muhammad lahir sebagai setitik cahaya yang akan menerangi Jazirah Arab dan menghapuskan kegelapan yang ada disana. Sebagai seorang nabi beliau mempunyai tanggung jawab yang sangat berat dibandingkan dengan manusia-manusia yang lain. Perjuangan beliau dalam membebaskan umat manusia, menemui banyak sekali tantangan berupa percobaan pembunuhan dll. Meski begitu beliau tetap semangat dan tetap menegakkan keadilan sampai akhir hayat beliau. Sampai islam besar dan menyebar kepenjuru negeri di dunia.

Mungkin saya sebagai orang yang terkena dampak penyebaran islam hanya tahu cerita tersebut dan berusaha mengilhami sifat dan perjuangan beliau, perjuangan yang sangat keras diterpa banyak sekali rintangan dan cobaan yang hampir membunuh beliau tak membuat mental beliau citu dan lemah seperti orang-orang hari ini. Saya sangat-sangat bersyukur bisa menjadi salah satu umat beliau dan bisa merasakan indahnya islam. Meskipun saya tak tau rupa wajah beliau dan tak pernah bisa bertemu beliau tetapi saya sangat mengagumi beliau dengan segala perbuatannya. Beliau adalah manusia pembebas yang membawa cahaya islam dari Jazirah Arab ke luar sampai ke negara tercinta kita yaitu negara Indonesia. Indonesia dahulu yang terkenal dengan mayoritas hindu budha, hari ini sudah terkenal dengan islamnya karena terkena efek perluasan islam itu sendiri.

Indonesia terkenal sebagai negara yang terdiri dari berbagai macam suku, budaya, ras dan agama. Salah satu agama yang terbesar di Indonesia adalah agama islam. Orang di indonesia hampir seluruhnya bisa mengucapkan alhamdulillah, assalamualaikum meskipun mereka bukan beragama islam. Dari hal itu bisa dilihat kalau mereka menghargai agama yang berbeda dari mereka, mereka tak ragu dan tak menghiraukan kalimat-kalimat tersebut dari mana atau seperti apa yang terpenting ketika itu baik dan itu merukunkan maka itu akan dipakai untuk saling menghargai dan menghormati sesuat yang berbeda dari mereka. Meskipun nilai-nilai dan norma-norma harmonisasi selalu dikumandangkan kepada seluruh orang tetapi tetap saja banyak sekali bentuk diskriminasi dan ketidak adilan yang dilakukan oleh salah satu kelompok dari mereka, entah islam kepada kristen,hindu,budha dll ataupun kristen,hindu, budha terhadap islam. Tetapi saya tetapi yakin kalau seluruh konflik di Indonesia yang mengatasnamakan agama dan tuhan adalah sebuah alibi untuk mengorganisir massa agar tujuan-tujuan politiknya tercapai. Politik kekuasaan yang berdalih agama memang sangat cocok dan menggugah hati seseorang untuk menatapnya atau untuk ikut serta dalam bergerak, karena di Indonesia memang sangat mudah untuk mengadudomba antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.

Islam mengajarkan agar seluruh umat manusia bisa saling menghargai dan menghormati satu sama lain, tercermin didalam firman Alloh SWT “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku (QS Al Kafirun: 6). Pada ayat ini dijelaskan bahwasannya seseorang harus saling menghormati dan harus saling menghargai tak peduli berbeda agama ataupun perbedaan yang lain. Sikap saling tolong-menolong harus tetap ada meskipun pada suatu tempat terdapat berbagai bentuk perbedaan, karena didalam sebuah perbedaan perihal tentang kemanusiaan akan tetap terjaga utuh untuk kesejahteraan bersama. Sudah selayaknya seseorang yang berbeda terus berpegangan tangan dan terus berpelukan agar cita-cita keharmonisan tetap terjaga untuh mengakar sampai kedasar bumi Indonesia kita tercinta!

Psikologi Tidak Benar-benar Ada di Indonesia

By. Naila Kamaliya

Memasuki detik-detik semester akhir perkuliahan ini rasa gembira, sedih, menyesal, dan terharu bercampur menjadi satu. Gembira karena akan tiba waktunya dimana saya tak lagi dikejar banyak deadline tugas dan memasuki ruang kelas yang menurut saya membuat raga dan jiwa menjadi tak bergairah. Gembira karena waktu saya tak banyak dihabiskan untuk duduk dan mendengarkan dosen saja namun disisi lain ada perasaan sedih, menyesal, dan terharu. Sedih karena akan meninggalkan teman-teman, sahabat-sahabat yang saya miliki, teman dan sahabat yang gila, teman dan sahabat yang hanya dengannya lah saya bisa melepaskan semua perasaan gundah maupun senang. Perasaan menyesal juga saya rasakan, perasaan ini paling mendominasi perasaan saya dimana banyak waktu yang selama ini telah terbuang sia-sia untuk hal yang tak ada gunanya, menyesal karena ada berjuta buku yang belum tersentuh satu patah katanya, menyesal karena ada banyak peluang yang sengaja tidak dijamah hanya karena lebih mementingkan hal-hal hedonis, menyesal karena masih banyak keinginan orangtua yang belum bisa saya lakukan sampai detik ini, detik-detik terakhir dari sisa-sisa menjadi seorang mahasiswa. Tak hanya itu, rasa terharu juga mendayu-dayu didalam hati ini, terharu karena ternyata orangtua saya sudah memiliki anak perempuan yang sudah dewasa, terharu karena tak lama lagi satu dari sekian banyak hal yang membuat orangtua saya bahagia akan segera terlaksana.

Pekerjaan, pendamping hidup, dan berbagai orientasi masa depan tentu tak luput dari pikiran saya saat ini. Pekerjaan apa yang akan saya dapat esok, dapatkah saya beradaptasi diluar lingkungan kampus, atau bahkan mungkin ada alur hidup yang sudah ditentukan Allah yang tidak saya duga sebelumnya. Namun terlepas dari itu semua saya banyak bertanya dan menggumam pada diri saya sendiri, banyak hal-hal mengganjal yang sampai saat ini tak tau harus dilontarkan kemana. Hal ini adalah mengenai profesi psikologi atau ilmuan psikologi yang keberadaannya masih belum bisa diterima dan dihargai semua pihak, baik dari masyarakat, pemerintah, sampai ilmuan non psikologi. Kekhawatiran ini juga dibuktikan ketika saya dan teman-teman yang mengampu mata kuliah penanganan anak bermasalah mengunjungi petirahan anak bermasalah yang dikelola oleh dinas soisal kota Batu.

Waktu itu hari Senin (23/03) sekitar pukul 13.30 saya dengan teman saya berangkat bersama ke tempat tujuan yakni Petirahan Bima Sakti Kota batu. Sesampainya disana saya dan rombongan yang lainnya memasuki aula untuk mengikuti sarasehan yang disampaikan oleh pekerja sosial dan psikolog dari Petirahan Bima Sakti. Pertama – tama sarasehan ini dimulai oleh pekerja sosial yang menjelaskan histori dari petirahan bima sakti, selanjutnya pekerja sosial menjelaskan tugas pokok dan fungsinya di petirahan ini diantaranya adalah membina anak-anak bermasalah selama 25 hari, waktu ini merupakan waktu yang telah dirundingkan dan ditentukan bersama berdasarkan anggaran dana pemerintah. Anak-anak yang dianggap bermasalah disini adalah anak-anak yang agresif, malas, pemalu atau pendiam, dan prestasi belajarnya tidak mencapai standar rata-rata atau bisa dikatakan kesulitan dibidang akademik. Pekerja sosial juga bertugas untuk memberikan perlakuan pada anak-anak bermasalah demi perubahan perilaku yang positif. Anak-anak ini datang atas rekomendasi dari sekolah dan dinas sosial setempat yang tentunya atas persetujuan dari masing-masing orangtua. Sarasehan yang kedua datangnya dari seorang psikolog, ini merupakan sesi yang paling saya tunggu karena menurut paham saya seorang psikolog memiliki posisi yang paling penting dalam asasmen, intervensi, dan terapi pada anak bermasalah namun, pernyataan saya ini ternyata tak sama dengan fakta yang ada. Petirahan ini hanya memfungsikan psikolog sebagai pengasasmen anak-anak bermasalah, psikolog tida turun tangan mengintervensi dan memberi perlakuan pada anak-anak, yang bertugas mengintervensi dan memberi perlakuan adalah pekerja sosial. Saya sangat tercengang dengan fakta kehidupan ini pasalnya dipetirahan batu ini menangani 100 anak-anak bermasalah namun, hanya ada dua tenaga psikolog yang dipekerjakan, selebihnya adalah pekerja sosial. Sungguh menyayat hati, bagaimana tidak? Jurusan yang selama ini saya banggakan kebergunaannya ternyata fakta tidak berbicara demikian, namun setidaknya saya mengetahui bahwa pemerintah khususnya di dinas sosial kota Batu masih belum memahami ‘lahan’ psikologi yang sesungguhnya. Bayangkan jika pekerja sosial yang tidak memiliki basis keilmuan psikologi memberikan treatmen yang salah, dari kejadian ini kekhawatiran saya ternyata benar-benar terbukti, profesi psikologi dan ilmuan psikologi masih belum diakui dan dihargai oleh masyarakat bahkan sekelas pemerintahan sekalipun.

Setelah sarasehan kedua dan sesi tanya jawab selesai saya dan teman-teman yang lainnya pergi mengunjungi anak-anak dipetirahan ini, kami melihat mereka sedang sholat berjamaah, kami melihat baju mereka berjajar dijmuran, rasanya tak tega melihat anak sekecil itu harus hidup berpiah dari orangtuanya dan melakukan semuanya sendirian hanya karena mereka ‘dianggap’ bermasalah. Setelah puas melihat ruang belajar mereka saya kembali ke aula tempat dimana sarasehan berlangsung tadi, disana ternyata banyak anak-anak perempuan yang berlatih menari, mereka dengan kompak menari India dan wajah mereka tampak begitu ceria. Saya duduk disebelah kanan dekat dengan pintu, tiba-tiba ada seorang anak perempuan yang hendak melewati saya, dia membungkukkan badan dan berkata ‘amit mbak’ , sungguh tersentuh hati saya, anak-anak disini tampaknya biasa saja, mereka tampak tidak ‘bermasalah’. Setelah lama menonton tarian mereka saya dan teman saya memutuskan untuk pulang namun, dalam perjalanan pulang kita sempatkan jalan-jalan dahulu ke alun-alun Kota Batu, disana saya dan teman saya berfoto dan naik biang lala. Setelah bosan berjalan-jalan di alun-alun kita berbelok ke pos ketan legenda, karena belum buka kami menunggu didepan outlet sembari bercengkrama. Banyak pemandangan yang saya lihat mulai dari sanda gurau wisatawan kota Batu sampai pada pengemis-pengemis yang berkeliaran. Pengemis selalu lalu lalang dihadapan kami namun, banyak dari mereka yang masih anak-anak. Sungguh tidak tega melihat wajah polosnya harus mengemis dan mengamen disela waktunya yang seharusnya mereka bisa bermain dan belajar bersama teman sebaya. Saat melihat mereka saya terngiang akan kunjungan saya tadi, anak-anak di petirahan Kota Batu merupakan anak-anak yang memiliki background yang jelas, anak-anak yang sekolah, dan anak-anak yang memiliki orangtua, mereka adalah anak-anak beruntung yang dianggap ‘bermasalah’. Lalu saya berpikir, mengapa dinas sosial tidak memfokuskan untuk menangani anak-anak jalanan seperti ini, yang berkeliaran dari pagi hingga malam hanya untuk mengemis uang. Mereka tidak bersekolah dan kehilangan waktu bermain dengan teman sebayanya.

Saya rasa dinas sosial harus melakukan analisa sosial kembali khususnya pada petirahan Bima Sakti agar sasarannya jelas dan bermanfaat, saya rasa anak-anak disana masih memilki orangtua dan guru yang bisa dijadikan pembimbing jika mereka memang dianggap ‘bermasalah’. Namun bagaimana nasib dari anak-anak jalanan ini? Mereka tak bersekolah, bahkan bisa jadi mereka berada didalam jaringan orang-orang berbahaya yang memanfaatkan keluguan mereka untuk mengemis.

Dunia diluar kampus sungguh tak terduga, banyak fakta yang tak sesuai dengan pembelajaran kita didalam kampus, banyak masalah profesi dan sosial yang tak tersentuh oleh pemerintah kita, semoga kedepannya kita sebagai mahasiswa dan khususnya pegawai pemerintahan lebih responsif dan memiliki pengetahuan luas pada bidang pekerjaannya.

Idealis Atau Miris

By. Naila Kamaliya

Menjadi seorang mahasiswa merupakan salah satu impian yang didam-idamkan oleh siswa yang masih berada pada sekolah menengah bahkan, banyak dari mereka yang rela meninggalkan kampung halaman demi memasuki kampus idamannya. Tak hanya itu, para orang tua dan sanak saudara juga banyak berkorban demi cita-cita buah hati dan saudaranya yakni menjadi mahasiswa. Saya juga merupakan salah satu dari siswa yang mengimpikan menjadi mahasiswa itu, segala daya dan upaya saya kerahkan untuk menembus perguruan tinggi yang saya idam-idamkan mulai dari les tambahan, belajar dengan giat, sampai berdoa namun, usaha yang saya lakukan ternyata belum menuai hasil yang saya inginkan, mungkin Allah memiliki rencana lain. Ternyata Allah memang memiliki rencana yang lebih indah, saya diterima diperguruan tinggi negeri walaupun dengan jurusan dan kampus yang sebenarnya tidak saya inginkan, sempat merasa kecewa tetapi seiring berjalannya waktu rasa semangat untuk bangkit dari kekecewaan ini sudah dapat diatasi, Alhamdulillah.

Rasanya budaya ‘OSPEK’ di Indonesia masih berlaku dijaman saya dengan segenap perploncoan didalamnya dan hegemoni-hegemoni baru yang asing ditelinga saya. Pada saat itu ketua pelaksana orientasi mahasiswa memberikan sambutan yang hingga kini masih terngiang ditelinga saya yakni karakteristik mahasiswa dalam perkuliahan sangatlah bermacam-macam diantaranya adalah mahasiswa idealis, aktivis, akademis, romantis, dan hedonis. Mahasiswa idealis merupakan mahasiswa yang mampu memanage kegiatannya dengan baik diantaranya mampu memanage akademknya, organisasinya, dll sedangkan mahasiswa aktivis merupakan mahasiswa yang hanya memfokuskan kegiatannya diranah organisasi tanpa mempertimbangkan kegiatan yang lainnya, selanjutnya adalah mahasiswa akademis, mahasiswa dengan karakter ini sering disebut dengan mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang) yang terakhir adalah mahasiswa romantis dan hedonis yakni mahasiswa yang memfokuskan kegiatannya pada pacaran dan bersenang-senang saja. Penjelasan ini menggiring pemikiran mahasiswa baru untuk lebih memilih menjadi karakter mahasiswa yang seperti apa. Hedoniskah?idealiskah? tau yang lainnya.

Saat menjadi mahasiswa baru sangat banyak hal baru yang saya temukan diantaranya saya menemuka karakteristik mahasiswa yang disebutkan oleh ketua pelaksana orientasi mahasiswa tadi, terutama saya banyak menemui mahasiswa yang berkarakter aktivis . Mereka sangat memfokuskan dirinya pada organisasi namun IPK mereka jauh dari kata layak, yang mereka pikirkan hanya berkutat pada organisasi mereka sendiri, tak jarang dari mereka yang tidak masuk kuliah setiap kali perkuliahan berlangsung, mereka tidak bergerak diwilayah akademik dan organisasi diluar organisasinya, mereka terjebak fanatisme buta pada organisasi yang mereka gandrungi saat itu. Hal ini masih terjadi sampai saat ini, sangatlah ironi bahkan ada beberapa yang setelah lulus dari perkuliahan yang masih berkecimpung diorganisasinya atau dengan kata lain tak punya pencapaian diluar organisai yang digandrunginya semasa kuliah dulu.

Melihat fenomena seperti itu agaknya status mahasiswa mulai bergeser dari khittahnya dimana banyak mahasiswa berkarakter aktivis berseru bahwa mahasiswa adalah ‘agen of change’ namun perkataan mereka tak berbanding lurus dengan apa yang mereka lakukan. Mereka hanya bergaul dengan orang-orang yang berada didalam organisasinya seolah-olah mereka adalah seorang macan yang bisa menaklukkan macan-macan lain didalam kandangnya sendiri. Hal seperti ini sangat saya ketahui karena saya sangat dekat denga kehidupan macam ini, kegeraman saya pada oknum-oknum yang tak pernah kuliah dan tak berani bergerak keluar namun berseru dalam ‘kandang’ sangatlah saya sayangkan. Kesadaran akademis sangat sulit ditumbuhkan pada mahasiswa berkarakter demikian, kesadaran keluar dari fanatisme buta sangat sulit dibantah.

Oleh karena itu, bagi mahasiswa yang sudah menyadari akan pentingnya menjadi mahasiswa idealis marilah kita mulai dari diri kita sendiri, marilah kita menjadi role model yang baik bagi lingkungan disekitar kita, janganlah terjebak dengan fanatisme buta dan kesombongan kita ‘dikandang sendiri’. Akhir kata, penulis masih jauh dari kata mahasiswa idelais, bersamaan dengan tulisan ini penulis merefleksikan diri guna perbaikan diri dan pembaca yang budiman.

Organisasi Intra Kampus Sudah Tidak ‘Seksi’

Menjelang kepengurusan baru dan sepeninggal kepengurusan lama organisasi intra kampus Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang tengah dihadapkan dengan hiruk pikuk Pemilu Raya 2015 yang akan diselenggarakan pada 18 Maret 2015. Pemilu Raya ini merupakan agenda tahunan dari UIN Maliki Malang dengan KPU sebagai penyelenggaranya. Ibarat Pemilu di Indonesia, seluruh ‘rakyat’ UIN Malang atau dalam hal ini adalah mahasiswa diharapkan berpartisipasi pada Pemilu Raya, selain ikut mencoblos calon ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) dan calon Senat Mahasiswa (SEMA) seluruh mahasiswa juga harus ikut mengawasi Pemilu Raya ini namun, kita juga tak boleh lupa ada KPU (Komisi Pemilihan Umum) baik itu ditataran Universitas maupun fakultas yang harus memandu jalannya Pemilu Raya ini.
KPU juga merupakan tonggak kesuksesan terselenggaranya agenda yang digandang-gandang sebagai agenda paling urgent ini, pasalnya dari data KPU Universitas tahun lalu golput masih menduduki angka tertinggi yakni 70% mahasiswa UIN Malang TIDAK menggunakan suaranya untuk memilih Presiden Mahasiswa dan Senat Mahasiswa. Ada yang janggal disini, mengapa hanya 30% mahasiswa UIN Malang yang menggunakan hak pilihnya? Namun banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, bisa jadi karena faktor akademik seperti tugas sehingga tak sempat mencoblos, atau faktor presepsi kebanyakan mahasiswa yang menganggap organisasi intra tak ‘seksi’ dalam artian menjadi bagian dari organisasi intra bukanlah sesuatu yang menjadi prioritas, peluang, prestasi, ataupun kebanggaan dari diri mereka.
Tak sampai disitu saja, agakanya KPU hari ini tak berkaca dari tahun lalu. Hari ini 25 Februari 2015 merupakan acara Pelantikan KPU Universitas dan KPU masing-masing Fakultas serta SOSIALISASI Pemilu Raya UIN Malang yang seharusnya diikuti, dihadiri, dan disambut baik oleh seluruh elemen kampus, tak hanya mahasiswa tetapi juga dosen dan pihak birokrasi sebagai bentuk antusiasme terhapad pergerakan organisasi intra kampus UIN Malang namun, jika hari ini anda menghadiri aula gedung C pemandangan seperti itu tidak terjadi.
Acara pelantikan dan sosialisasi Pemilu Raya ini hanya dihadiri oleh KPU dan Anggota KPU saja. Tak ada pemandangan gerumunan mahasiswa yang berbondong-bondong ingin menyaksikan pelantikam dan sosialisasi Pemilu Raya ini. Lantas bagaimana hal ini bisa terjadi? Jujur saja saya baru mengetahui agenda acara ini tidak lebih dari 3 jam sebelum acara, hal ini juga merupakan kebetulan semata karena rekan saya menjadi sekretaris KPU Fakultas Psikologi. Tak hanya diam saya bertanya kepada rekan saya ini “kok gak ada pengumuman?” Diapun menjawab “kata KPU Universitas sih sudah dipasang banner”, saya hanya terdiam rupanya KPU tahun ini benar-benar tak melakukan analisa sosial padahal sudah terdapat fakta 70% mahasiswa UIN golput pada pada tahun 2014 lalu tetapi KPU tahun ini hanya menggunakan media banner untuk menarik partisipasi mahasiswa. Tak ada poster, tak ada broadcast bbm, tak ada pengumuman door to door, atau setidaknya memberi tahu lewat grup facebook yang toh sampai hari ini masih aktif dan eksis digunakan mahasiswa. Tak heran jika angka golput dari tahun ke tahunnya tidak bisa direpress jumlahnya, tak heran organisasi mahasiswa intra kampus menjadi tidak seksi jika pintu masuk atau awal dari agenda Pemilu Raya ini saja tidak diketahui mahasiswa secara meluas. Harusnya sebelum KPU menetapkan tanggal agenda Pemilu Raya mulai dari sosialisasi pemira sampai dengan pencoblosan, KPU terlebih dahulu melakukan analisa dan asasment yang pada akhirnya mampu menjadi prevensi terhadap golput.

Puteri Indonesia atau Barbie Indonesia?

Baru-baru ini acara yang katanya paling bergengsi kembali diadakan. Acara ini tidak lain adalah ajang pemilihan Puteri Indonesia dimana pesertanya harus memiliki tinggi diatas 160 cm dan berpenampilan menarik. Agaknya ada beberapa kejanggalan disana, secara tidak langsung ajang pemilihan Puteri Indonesia ini harus diikuti oleh wanita cantik dan tinggi atau dengan kata lain punya tubuh yang ‘proposional’. Tak hanya itu media selalu saja menyebutkan bahwa ajang pemilihan puteri Indonesia ini golnya adalah harus menjadi duta pariwisata didaerahnya masing-masing. Ada kejanggalan lagi disini, sepertinya duta pariwisata hari ini tidak perlu pintar ataupun setidaknya mengerti potensi pariwisata Indonesia, cukup cantik, tinggi, dan berpenampilan menarik atau jika anda merasa lebih pintar daripada mereka namun anda tidak tinggi dan tak berpenampilan menarik urungkan kembali niat anda untuk menjadi duta pariwisata ataupun Puteri Indonesia.
Sebelum menulis opini ini saya terlebih dahulu menelusuri google untuk mencari data apakah ada peningkatan yang signifikan disektor pariwisata Indonesia setelah terpilihnya Putri Indonesia, saya pun tercengang ternyata hasilnya tidak seperti apa yang saya harapkan. Pencarian dari berbagai keyword telah saya lakukan namun, saya hanya berputar pada acara ‘jalan-jalan’ dan pencapaian mereka pada ajang Puteri Indonesia hingga mengikuti Miss Universe bukan pada apa yang mereka lakukan pada sektor pariwisata Indonesia setelah mereka terpilih menjadi Puteri Indonesia atau setidaknya perubahan yang mereka lakukan untuk negeri ini. Tak berhenti disitu saja, saya meluncur mencari situs pemerintahan barangkali saya menemukan angka pariwisata Indonesia naik tajam setelah terpilihnya Puteri Indonesia namun, lagi lagi google mengecewakan saya, tidak ada data untuk itu. Barangkali pembaca pernah menemukan artikel semacam itu bisa memberi tahu saya.
Seringkali media yang turut serta menayangkan ajang kecantikan ini menuturkan bahwa aspek penilaian tidak melulu menekankan pada kecantikan namun, ada dua aspek yang dijadikan acuan penilaian juga yakni Brain and Behavior atau Kecerdasan dan Tingkah laku. Adanya aspek kecantikan di dalam ini memang patut diberikan perhatian karena apabila perempuan cantik yang memperoleh apresiasi,
pengakuan, dan dukungan yang besar diidentikkan dengan wanita yang putih, langsing, dan tinggi, maka hal tersebut akan mempengaruhi persepsi kaum wanita dan laki-laki di dalam memandang apa itu makna cantik.
Dampak berikutnya adalah diskriminasi. Dampak lainnya adalah para wanita akan termotivasi untuk menjadi cantik berdasar kriteria putih, langsing, dan tinggi. Akhirnya mereka akan dieksploitasi tenaga, waktu, dan hartanya. Lebih tepatnya wanita akan terjebak dalam gaya hidup konsumtif.
Mari kita telisik lebih dalam, ada ‘permainan’ apa dibalik ajang pemilihan Putri Indonesia ini. Ketika saya membaca salah satu artikel yang diterbitkan oleh salahsatu media cetak ada kalimat yang saya ‘garis bawahi’ “Puteri Indonesia harus bisa menjadi role model bagi perempuan-perempuan Indonesia lainnya” pernyataan ini diungkapkan oleh salah satu CEO produk kecantikan di Indonesia.
Saya kembali bertanya-tanya, kenapa media tersebut mengutip pernyataan CEO produk kecantikan? bukan Menteri pemberdayaan perempuan, Menteri Pariwisata, atau Menteri Sosial dan mungkin tokoh-tokoh yang sosoknya membangun Bangsa Indonesia. Mungkin saya sedikit mengetahui korelasinya, ajang kecantikan ini tak akan terselenggara jika tidak ada sponsor. Katakanlan produk kecantikan merupakan sponsor dari ajang kecantikan ini. Agaknya memang acara ini bukan program tahunan dari kabinet kerja pemerintahan Indonesia maka dari itu acara ini membutuhkan sponsorship yang mampu mencukupi kebutuhan acara. Akan tetapi ada pertanyaan lain yang timbul dibenak saya, apa sesungguhnya tujuan dari acara ini? Jika untuk memplokamirkan pariwisata Indonesia tentu acara ini tak berhasil karena tak ada data yang saya maksud diatas, jika untuk mencari role model yang baik bagi wanita Indonesia lantas mengapa syaratnya harus tinggi dan berpenampilan menarik? Toh role model tak haris cantik bukan? Lalu putri Indonesia juga tak segan memakai bikini di ajang Miss Universe, apakah ini role model yang ‘baik’ ?
Lantas apa tujuan acara ini?
Secara tidak langsung wanita Indonesia telah dihegemoni oleh kaum pemilik modal, dimana permainan ini dimulai dari mengkonstruk pemikiran masyarakat bahwa wanita yang diakui, diapresiasi, dan didukung adalah wanita yang cantik dimana menjadi cantik membutuhkan polesan-polesan tertentu tentunya dengan membuat tubuhnya menjadi putih, wajahnya menjadi bersih, tampilannya menarik, dan tubuhnya tinggi langsing. Oleh karena itu terciptalah produk-produk seperti alat make up, lotion pemutih, dan …. Saya kira anda bisa mengisi titik-titik yang saya kosongi. Dan produk-produk itu telah setia menjadi sponsor dari ajang kecantikan ini, tak hanya produk-produk diatas acara ini juga memberi untung pada produk yang lain. Sekarang, apakah anda sudah mengerti tujuan dari ajang kecantikan ini? Hal ini tak hanya terjadi di Indonesia bahkan diseluruh dunia, betapa hebatnya permainan pemilik modal. Welcome Capitalism!

Pendampingan MAPABA Melalui 3 Pilar PMII

by. nailakamal

“Mahasiswa saat ini dapat dimengerti hanya apabila kita mampu menyelami cara berpikir mahasiswa, bukannya mahasiswa yang dipaksa untuk mengikuti cara berpikir PMII. Ini boleh jadi merupakan jalan primer untuk ditempuh sehingga PMII dapat diterima oleh mahasiswa. Dengan kalimat lain, bukan mahasiswa yang pertama – tama harus mengikuti jalan pikiran PMII melainkan PMII-lah yang pertama – tama mesti mengikuti jalan pikiran mahasiswa” ( dalam Pendidikan Kritis Transformatif, PB PMII; 2002) strategi ini dinamai “ masuk dari pintu mereka keluar dari pintu kita”.

Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) merupakan sistem pengkaderan formal tahap awal yang dilaksanakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dimana didalamnya terdapat proses kaderisasi yang sangat vital salah satunya adalah pendampingan MAPABA. Pendampingan sendiri adalah proses handling yang didalamnya tercakup perencanaaan, controling, dan evaluasi untuk tercapainya suatu target. Namun demi tercapainya ekspektasi dari pendampingan itu sendiri diperlukan pengetahuan agar pendampingan yang dilakukan sesuai dengan upaya kita dalam mewujudkan misi, peran, dan fungsi baik dalam kehidupan organisasi, bermasyarakat, maupun bernegara.
Seperti yang kita ketahui mahasiswa yang mengikuti MAPABA merupakan calon anggota dan kader PMII. Kader sendiri merupakan orang yang mampu menjalankan amanat, memiliki kapasitas pengetahuan dan keahlian, pemegang tongkat estafet sekaligus membingkai keberadaan dan kelangsungan organisasi. Kader adalah ujung tombak sekaligus tulang punggung kontinyuitas sebuah organisasi. Sedangkan pengkaderan berarti proses bertahap dan terus-menerus sesuai tingkatan, capaian, situasi, dan kebutuhan tertentu, yang memungkinkan seorang kader dapat mengembangkan potensi akal, kemampuan fisik, moral, dan sosialnya. Sehingga kader dapat membantu orang lain dan dirinya sendiri untuk memperbaiki keadaan sekarang demi mewujudkan masa depan yang lebih baik sesuai dengan cita – cita yang diidealkan, nilai – nilai yang diyakini serta misi perjuangan yang diemban. Sistem pengkaderan PMII sendiri adalah totalitas pembelajaran yang dilakukan secara terarah, terencana, sistematik, terpadu, berjenjang, dan berkelanjutan untuk mengembangkan potensi, mengasah kepakaan, melatih sikap, memperkuat karakter, mempertinggi harkat dan martabat, memperluas wawasan, dan meningkatkan kecakapan insan – insan pergerakan agar menjadi manusia yang muttaqin, beradap, berani,santun, cendik – cendikia, berkarakter, terampil, loyal, peka, dan gigih menjalankan roda organisasi dalam upaya pencapaian cita – cita dan perjuangannya (Multi Level Strategi Gerakan PMII, PB PMII; 2006).
Meskipun setiap orang memiliki model pendampingan yang berbeda – beda namun harus tetap terarah pada upaya pengkaderan PMII yang bersumber pada nilai – nilai dan prinsip – prinsip yang digali serta dikembangkan dari tiga pilar pengkaderan PMII yakni: pertama semangat gerakan ketrampilan dan daya intelektualitasnya sebagai mahasiswa; kedua keyakinan, pemahaman, pelaksanaan, dan penghayatannya atas ajaran islam; serta ketiga pengetahuan, wawasan, komitmen dan pembelaannya atas kelangsungan negara-bangsa Indonesia. Wacana, nilai – nilai dan model gerakan apapun yang diperjuangkan oleh PMII selalu merujuk sekaligus bermuara pada penegasan ketiga pilar diatas, yakni Kemahasiswaan, Keislaman, dan Keindonesiaan. Oleh karena itu dalam pendampingan MAPABA baiknya diarahkan sesuai dengan kapasitas dan karakter calon anggota tanpa menafikkan tiga pilar pengkaderan PMII tersebut diatas.

Terbatas

Sedari lahir kreatifitas kita sebagai diri yang memiliki kehendak sudah  terbatas. Kehendak yang inginkan diri untuk berpikir liar berkarya bebas lepas seolah2 dibatasi hegemoni oknum2 berkedok pahlawan. Ini dia contoh keterbatasan kita sejak taman kanak kanak, sebelumnya cobalah menggambar pemandangan. Jangan hanya dibaca, gambarlah! Apa yang terjadi? Gambar apa yg anda gambar? Mungkin tak jauh berbeda dengan gambar berikut haha

image